I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia dengan wilayah lautnya yang sangat
luas diperkirakan mempunyai terumbu karangnya sekitar 60.000 km2 membuat negara
ini sangat kaya dengan keanekaragaman hayati (Mahmudi, 2003). Salah satu lokasi
yang terumbuh karang di Indonesia adalah terletak diperairan Wakatobi, Daerah ini didominasi perairan laut yang luasnya mencapai
55.113 km2 dan garis pantai ± 251,96 km atau mencapai 98,5% dari keseluruhan
total wilayah (Ester, 2009). Kekayaan jenis sumberdaya alam laut yang tinggi dan unik serta mempunyai panorama
bawah laut yang menakjubkan menjadikan kepulauan Wakatobi dijuluki surga bawah
laut di antara pusat segitiga karang dunia (the heart of coral triangle
centre) yaitu wilayah yang memiliki keanekaragaman terumbu karang dan ikan
serta keanekaragaman hayati tertinggi di dunia yaitu sekitar 90% (750 jenis dari 850 jenis karang dunia ditemukan di Wakatobi
(Hermawan, 2007).
Terumbu karang merupakan keunikan di antara
asosiasi atau komunitas lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis.
(Nybakken, 1992). Terumbu karang mempunyai nilai dan arti yang sangat penting
baik dari segi sosial ekonomi dan budaya, karena hampir sepertiga penduduk
Indonesia yang tinggal di daerah pesisir dan menggantungkan hidupnya dari
perikanan laut dangkal (Suharsono, 1996).
Ekosistem terumbu
karang mempunyai produktivitas dan keanekaragaman jenis fauna yang tinggi.
Selain itu ekosistem terumbu karang merupakan tempat hidup, tempat mencari
makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground) dan tempat memijah (spawning ground) untuk berbagai biota
laut. Terumbu
karang juga memiliki fungsi ekonomi tinggi karena terumbu karang merupakan
tempat hidup bagi ikan-ikan karang yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti
ikan kerapu, baronang, ekor kuning dan lainnya. Menurut MC Allister dalam WWF (1991), dalam keadaan yang
sehat terumbu karang dapat menghasilkan 20 - 30 ton ikan pertahun.
Daerah Perlindungan Laut (DPL) Desa Waha Kecamatan Wangi – Wangi Kabupaten
Wakatobi dibentuk dalam rangka mendukung pengelolaan terumbu karang yang
berkelanjutan. Sejak Tahun 2006 COREMAP II Wakatobi telah menginisiasi
pembentukan DPL di lokasi-lokasi program yang diharapkan dapat melindungi serta
melestarikan ekosistem terumbu karang sekaligus meningkatkan produksi perikanan (Coremap II
2006). DPL dibentuk sebagai
salah satu upaya yang efektif dalam mengurangi kerusakan ekosistem pesisir,
yaitu dengan melindungi habitat penting khususnya ekosistem terumbu karang dan Populasi
ikan (terutama ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang) (Tulengen dkk, 2002). DPL dengan kondisi karang yang bagus
memiliki kelimpahan dan jumlah jenis ikan karang yang lebih tinggi bangdingkan
dengan daerah yang bukan DPL (Coremap II 2008). Namun sejauh ini di DPL Desa Waha belum ada
penelitian yang melihat/mengukur persentase penutupan karang dan kelimpahan
ikan secara akurat sehingga bisa menggambarkan kondisi terumbu karang dan ikan karang disuatu
DPL.
B.
Rumusan masalah
Adapun masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara persentase penutupan karang dan
kelimpahan ikan di Daerah perlindungan laut (DPL) Desa Waha Kecamatan
Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi.
C.
Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara persentase
penutupan karang dan kelimpahan ikan di DPL Desa Waha.
Diharapkan
dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dasar bagi langkah-langkah
pengelolaan bijaksana DPL dan terumbu karang serta sebagai informasi dasar bagi
penelitian selanjutnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Bioekologi
Terumbu Karang
Terumbu karang adalah endapan masif yang
penting dari kalsium karbonat yang dihasilkan oleh karang (Filum Cnidaria,
kelas Anthozoa, ordo Madreporaria/ Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari
alga berkapur dan organismeorganisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat
(CaCO3) (Nybakken, 1992). Karang merupakan binatang sederhana, berbentuk tabung
dengan mulut berada di atas yang juga berfungsi sebagai anus. Mulut dikelilingi
oleh tentakel yang berfungsi sebagai penangkap makanan. Mulut dilanjutkan
dengan tenggorokan yang pendek yang langsung menghubungkan dengan rongga perut.
Di dalam rongga perut berisi semacam usus yang disebut dengan mesentri filament
yang berfungsi sebagai alat pencerna (Suharsono, 1996).
Dinding polip karang terdiri dari tiga
lapisan yaitu ektoderma, endoderma, mesoglea. Ektoderma merupakan jaringan
terluar yang terdiri dari berbagai jenis sel yang antara lain sel mukus dan sel
nematokis. Jaringan endoderma berada di lapisan dalam yang sebagian besar
selnya berisi sel algae yang merupakan simbion karang, sedangkan mesoglea
adalah jaringan yang berada di tengah antara keduanya yang berupa lapisan
seperti jelly (Suharsono, 1996). Seluruh jaringan karang juga dilengkapi oleh
silia dan flagela yang berkembang dengan baik di lapisan luar tentakel.
Struktur polip dan kerangka kapur hewan karang terdiri dari lempeng dasar,
epiteka, koralit, koralum, kalik, kosta dan kolumela. Lempeng dasar terletak di
dasar sebagai pondasi dari septa yang muncul membentuk struktur yang tegak dan
melekat pada dinding yang disebut epiteka (Suharsono, 1996).
Koralit yaitu keseluruhan skeleton yang terbentuk dari
satu polip dalam satu individu atau satu koloni disebut koralum. Kalik merupakan
permukaan koralit yang terbuka, serta yang tumbuh hingga mencapai dinding luar
dari koralit dinamakan kosta. Struktur yang terdapat di dasar dan tengah
koralit yang merupakan kelanjutan dari septa disebut kolumella (Suharsono,
1996).
Sumber :
Birkeland, 1997
Gambar 1. Struktur polip kerangka karang
Setiap
individu polyp yang hidup tumbuh di
dalam bentuk mangkuk keras (calyx)
sambil membentuk rangka kapur (CaCO3) yang di tumpuk di bawahnya. Semakin lama
tumpukan lapisan kapur ini semakin tebal sementara polyp yang hidup tetap menempel dibagian atasnya. Terdapat
bermacam-macam karakteristik bentuk ada yang padat, bercabang-cabang, bulat
pipih, bentuk jari tangan, tebal dan sebagainya. Hewan karang jenis ini disebut
karang keras. Hewan karang dewasa biasanya dapat memanjang dan menggerakan
tentakelnya tetapi tidak dapat bergerak ke luar meninggalkan mangkuk (calyx) tempatnya menempel (Kenchinton,
1994). Polyp karang bersimbiosis
dengan biota lainnya. Dalam kehidupan berasosiasi karang berperan sebagai
produsen sekaligus sebagai konsumen. Hal tersebut disebabkan karena karang
bersimbiosis dengan zooxanthellae
yang menghasilkan bahan organik (Sadarun dkk.
2006).
Ada
dua tipe karang, yaitu karang yang membentuk bangunan kapur (hermatypic corals) dan ada yang tidak
dapat membentuk bangunan karang (ahermatypic
corals). Hermatypic corals adalah
koloni karang yang dapat membentuk bangunan atau terumbu dari kalsium karbonat
(CaCO3), sehingga sering disebut pula reef
building corals. Sedangkan ahermatypic
corals adalah koloni karang yang tidak dapat membentuk terumbu
(Supriharyono, 2007).
Pertumbuhan
karang dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik meliputi
kegiatan predasi, kompetisi, agresi karang lain. Faktor abiotik dapat berupa
intensitas cahaya, lama penyinaran, suhu, nutrisi dan sedimentasi. Karang
memiliki kemampuan hidup diperairan miskin, tidak dapat beradaptasi teradap
kenaikan nutrien secara mendadak dalam jumlah besar (Timotius, 2003).
B.
Faktor Pembatas Ekosistem Terumbu Karang.
Terumbu karang (coral reefs) merupakan kumpulan
masyarakat (binatang) karang (reef coral),
yang hidup di dasar perairan, yang berupa batuan kapur (CaCO3), dan mempunyai
kemampuan yang cukup kuat untuk menahan gaya gelombang laut. Binantang-binatang
karang tersebut umumnya mempunyai kerangka kapur, demikian pula alga yang
berasosiasi di ekosistem ini banyak di antaranya juga mengandung kapur
(Supriharyono, 2007).
Keanekaragaman,
penyebaran dan pertumbuhan karang tergantung pada kondisi lingkungannya.
Kondisi ini pada kenyataannya tidak selalu tetap, akan tetapi seringkali
berubah karena adanya gangguan, baik yang berasal dari alam atau aktivitas
manusia. Gangguan dapat berupa faktor fisik-kimia dan biologis. Faktor-faktor
fisik-kimia yang diketahui dapat mempengaruhi laju kehidupan pertumbuhan
karang, antara lain adalah cahaya matahari, suhu, salinitas, dan sedimen.
Sedangkan faktor biologis, biasanya berupa predator atau pemangsanya
(Supriharyono, 2007).
a.
Kecerahan
Radiasi
sinar matahari memegang peranan penting dalam pembentukan karang. Penetrasi
sinar menentukan kedalaman di mana proses fotosintesis terjadi pada organisme
alga dan zooxanthellae dari jaringan
terumbu. Produksi primer yang dihasilkan oleh terumbu karang diakibatkan oleh aktivitas
zooxanthellae, sehingga distribusi
vertikal terumbu karang hanya mencapai kedalaman efektif sekitar 10 meter dari
permukaan laut (Dahuri, dkk 2008).
Cahaya
matahari diperlukan oleh zooxanthellae
yang hidup bersimbiosis dengan karang untuk berfotosintesis yang menghasilkan
oksigen terlarut dalam air. Jika laju fotosintesis berkurang, maka kemampuan
karang untuk menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang
(Nybakken, 1998).
b. Suhu
Secara global,
sebaran terumbu karang dunia dibatasi oleh permukaan laut yang isoterm pada
suhu 20°C, dan tidak ada terumbu karang yang berkembang di bawah suhu
18°C. Terumbu karang tumbuh dan berkembang optimal pada perairan bersuhu
rata-rata tahunan 23-25 °C, dan dapat menoleransi suhu sampai dengan 36-40 °C
(Nontji, 1993).
c.
Salinitas
Hewan karang batu
mempunyai toleransi terhadap salinitas sekitar 27 – 40 ppt. Adanya aliran air
tawar akan menyebabkan kematian. Itulah sebabnya daerah-daerah yang memiliki
aliran air tawar jarang di jumpai ekosistem terumbu karang (Nontji, 1993).
Banyak
spesies terumbu karang yang peka terhadap perubahan salinitas yang besar.
Umumnya terumbu karang tumbuh dengan baik disekitar areal pesisir pada
salinitas 30 – 35 ppt. Meskipun terumbu karang mampu bertahan pada salinitas
diluar kisaran tersebut, namun pertumbuhannya kurang baik dibandingkan pada
salinitas normal (Dahuri, dkk 2008).
d.
Arus
Faktor yang juga mempengaruhi pertumbuhan karang adalah arus substrat
dasar perairan. Arus diperlukan untuk mendatangkan makanan berupa plankton.
Disamping itu juga membersihkan dari endapan-endapan dan untuk mensuplai
oksigen dari laut bebas. Oleh karena itu pertumbuhan di tempat yang airnya
selalu teraduk oleh arus dan ombak, lebih baik dari pada diperairan yang tenang
dan terlindung (Nontji,1993).
e.
pH
Nilai pH mencerminkan keseimbangan asam dan basa suatu perairan. Setiap organisme mempunyai toleransi terhadap pH.
Menurut NTAC (1968) dalam
Pangerang dan Mansyur (1994), umumnya organisme perairan dapat hidup pada
kisaran pH tidak kurang dari 6,7 dan tidak lebih dari 8,5. selanjutnya dikatakan bahwa, penambahan suatu
senyawa ke perairan hendaknya tidak menyebabkan perubahan pH menjadi lebih
kecil dari 6,7 atau lebih besar dari
8,5.
C. Bentuk Pertumbuhan
Karang (life form)
Sadarun,
dkk., (2006), karang mempunyai
variasi bentuk pertumbuhan karang (life
form) yang dibedakan menjadi :
1.
Bentuk bercabang (branching). Karang seperti ini memiliki
cabang dengan ukuran cabang lebih panjang di bandingkan dengan ketebalan atau
diameter yang dimilikinya.
2.
Bentuk padat (massive). Karang ini memiliki koloni yang keras umumnya berbentuk
membulat, permukaannya halus dan padat. Ukurannya bervariasi mulai dari sebesar
telur sampai sebesar ukuran rumah.
3.
Bentuk kerak (encrusting). Karang ini tumbuh merambat dan menutupi permukaan
dasar terumbu, memiliki permukaan kasar dan keras lubang-lubang kecil.
4.
Bentuk meja (tabulate). Karang ini tumbuh membentuk menyerupai meja dengan
permukaan lebar dan datar serta dipotong oleh semacam tiang penyangga yang
merupakan bagian dari koloninya.
5.
Bentuk daun (foliose). Karang ini membentuk lembaran-lembaran yang menonjol pada
dasar terumbu, berukuran kecil dan membntuk lipatan-lipatan melingkar.
6.
Bentuk jamur (mushroom). Karang ini terdiri dari satu buah polyp yang berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak
tonjolan seperti punggung bukit yang beralur dari tepi ke pusat.
Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang
batu terbagi atas karang Acropora dan
non-Acropora (English et. al., 1994). Perbedaan Acropora dengan non-Acropora terletak pada struktur skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang disebut axial koralit dan radial koralit. Sedangkan non-Acropora
hanya memiliki radial koralit yang
bentuk pertumbuhannya terdiri atas :
1. Bentuk
Pertumbuhan Non-Acropora
a. Bentuk bercabang atau (branching) memiliki bagian bercabang yang lebih panjang dari
diameter yang dimiliki. Banyak terdapat di sekitar tepi terumbu dan bagian atas
lereng terutama yang terlindungi dan setengah terbuka. Bersifat banyak
memberikan tempat perlindungan bagi ikan dan invertebrata tertentu.
b. Bentuk padat (massive), dengan ukuran bervariasi serta beberapa bentuk seperti
bongkahan batu, permukaan karang ini halus dan padat. Biasanya ditemukan
disepanjang tepi terumbu dan bagian atas terumbu.
c. Bentuk kerak (encrusting), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan yang
kasar dan keras serta lubang-lubang kecil. Banyak terdapat di lokasi yang
terbuka dan berbat-batu. Bersifat memberikan tempat perlindungan untuk hewan
kecil yang sebagian tubuhnya tertutup oleh cangkang.
d. Bentuk lembaran (foliose), merupakan lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar
terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau melingkar terutama pada
lereng terumbu dan daerah-daerah yang terlindung. Bersifat memberikan tempat
perlindungan bagi ikan dan hewan lain.
e. Bentuk jamur (mushroom), berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak
tonjoloan seperti punggung bukit beralur dari tepi sampai pusat mulut.
f. Bentuk submasif (submassive), bentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom
kecil.
g. Karang api (millephora), semua jenis karang api yang dapat dikenali dengan
adanya wara kuning di ujung koloni, dan rasa panas seperti terbakar bila
disentuh.
h. Karang biru (heliophora), dapat dikenali dengan adanya warna biru pada
rangkanya.
2. Bentuk
pertumbuhan Acropora terdiri atas :
a. Acropora
bentuk cabang (branching acropora),
berbentuk seperti ranting pohon.
b. Acropora
meja (tabulate acropora), bentuk bercabang dengan arah mendatar
dan rata seperti meja. Karang ini ditopang dengan batang yang berpusat atau
bertumpuh pada satu sisi membentuk sudut atau datar.
c. Acropora
merayap (encrusting acropora), bentuk
merayap biasanya terjadi pada acropora
yang belum sempurna.
d. Acropora
submasif (submassive acropora),
percabangan bentuk ganda seperti lempengan dan kokoh.
e. Acropora berjari (digitate
acropora), bentuk percabangan rapat
dengan cabang seperti jari tangan.
D.
Fungsi dan Manfaat Terumbu Karang
Terumbu karang
merupakan tempat hidup bagi ikan-ikan dan organisme lainnya untuk mencari makan
(feeding ground), bertelur (nesting ground) dan berpijah (nursery ground). Terumbu karang juga
berfungsi sebagai benteng pantai dari gelombang laut yang menuju kearah pantai,
sehingga manusia dapat hidup didaerah dekat pantai. Selain sebagai benteng,
terumbu karang juga memiliki fungsi ekonomi tinggi karena terumbu karang
merupakan tempat hidup bagi ikan-ikan karang yang memiliki nilai ekonomi
tinggi, seperti ikan kerapu, baronang, dan ekor kuning yang dijadikan sebagai
menu hidangan utama restoran-restoran berkelas tinggi (Coremap II, 2007).
Ekosistem terumbu
karang mempunyai manfaat yang beranekaragam. Manfaatnya tidak hanya berhubungan
dengan biota laut, sebagai tempat tinggalnya. Terumbu karang merupakan
penunjang produksi perikanan, sumber makanan maupun industri, dan menjadi salah
satu objek wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Beberapa manfaat lain
terumbu karang adalah sebagai penahan ombak, budidaya sumber makanan, dan
industri (Ikawati dkk., 2001).
E.
Kerusakan Terumbu Karang.
Aktifitas pembangunan di wilayah pesisir dewasa ini,
seperti pertanian, industri, pengerukan pantai, penangkapan ikan dengan racun
dan bahan peledak (bom), dan lainnya, didukung dengan paristiwa-peristiwa alam,
seperti badai, gempa bumi, kenaikan suhu (El Nino), dapat mengganggu ekosistem
terumbu karang (Supriharyono, 2007).
Ekosistem terumbu karang terdapat di
lingkungan perairan yang agak dangkal, seperti paparan benua dan gugusan
pulau-pulau di perairan tropis. Untuk mencapai pertumbuhan maksimum, terumbu
karang memerlukan perairan yang jernih,
dengan suhu perairan yang hangat, gerakan gelombang yang besar, dan sirkulasi
air yang lancar serta terhindar dari proses sedimentasi (Dahuri dkk., 2008).
Coremap II (2007), menyatakan bahwa
beberapa kerusakan terumbu karang yang terjadi diantaranya :
a. Pengaruh
biologi dan fisik
- Musuh terumbu karang di alam juga cukup banyak, yang paling
menonjol adalah serangan anchacaster.
Biota laut merupakan musuh utama terumbu karang, dan apabila terjadi serangan
hebat, maka terumbu karang menjadi tidak berdaya. Apabila keseimbangan alam terganggu
maka jumlah anchacaster tersebut akan
melimpah dan memangsa terumbu karang.
- Suhu yang mengalami perubahan ekstrim, akan menyebabkan
timbulnya pemutihan karang (coral
bleaching). Musuh alami lainnya antara lain bulu babi. Tetapi musuh
terbesarnya adalah manusia.
b. Pengaruh Manusia
- Pencemaran dari industri dan limbah rumah tangga, juga akan
membuat terumbu karang ikut terganggu. Tidak jarang sering dijumpai sampah
plastik di sela-sela terumbu karang. Terumbu karang yang terletak di kota-kota
besar , umumnya merana karena itu.
-
Pengambilan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti bom, pembiusan dan yang
lainnya. Serta yang lebihnya lagi adalah digunakan untuk bahan bangunan atau
langsung di perjual belikan untuk hiasan.
Beberapa dampak
kegiatan manusia terhadap ekosistem terumbu karang dapat dilihat pada Tabel 1 :
Tabel 1. Dampak
Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Terumbu Karang
Kegiatan
|
Dampak Potensial
|
Penambangan karang dengan atau tanpa
menggunakan bahan peledak
|
-
Perusakan habitat, bila menggunakan
bahan peledak dapat menimbulkan
kematian masal hewan terumbu karang.
|
Pembuangan limbah panas
|
-
Meningkatnya suhu air dengan 5-10 oC di atas suhu ambient air, dapat mematikan karang
dan hewan lainnya serta tumbuhan yang berasosiasi dengan terumbu karang;
|
Penggundulan hutan di lahan atas (upland)
|
-
Sedimen hasil erosi yang
berlebihan dapat mencapai terumbu karang yang letaknya sekitar muara sungai
pengangkut sediment, dengan akibat meningkatnya kekeruhan air sehingga
menghambat fungsi zooxanthellae yang
selanjutnya menghambat pertumbuhan terumbu karang.
-
Sedimen yang berlebihan dapat
menyelimuti polip-polip dengan sedimen yang dapat mematikan karang, karena
oksigen terlarut dalam air tidak dapat berdifusi masuk kedalam polip;
-
Karang di terumbu karang yang
lokasinya berdekatan dengan banjir akan dapat mengalami kematian karena
sedimentasi yang berlebihan dan penurunan salinitas air;
|
Pergerakan di sekitar terumbu karang
|
- Arus
dapat mengangkut sediment yang teraduk ke terumbu karang dan meningkatkan
kekeruhan air.
|
Kepariwisataan
|
-
Peningkatan suhu air karena
pencemaran panas oleh pembuangan air
pendingin pembangkit listrik hotel.
-
Kerusakan fisik terumbu karang
batu oleh jangkar kapal.
-
Koleksi terumbu karang yang
masih hidup dan hewan-hewan lain oleh para turis dapat mengurangi
keanekaragaman hewani ekosistem terumbu karang;
-
Rusaknya terumbu karang yang di
sebabkan oleh penyelam.
|
Penangkapan ikan hias dengan
menggunakan kalium sianida (KCN)
|
-
Penangkapan ikan hias dengan
menggunakan kalium sianida bukan saja membuat ikan pingsan, tetapi akan
membunuh karang dan avertebrata lainnya di sekitar lokasi,
karena hewan-hewan ini jauh lebih peka terhadap kalium sianida
|
Sumber : Berwick (1983).
F. Komunitas ikan karang
Kondisi terumbu karang dan keanekaragaman
jenis ikan karang adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Salah satu indikator kerusakan lingkungan terumbu karang tersebut juga
dicirikan oleh semakin menurunnya keanekaragaman jenis-jenis ikan (Badrudin et
al., 2003 ), artinya baik dan buruknya kondisi terumbu karang dan
lingkungannya akan menentukan kelimpahan ikan karang yang menghuni ekosistem
tersebut. Sale (1991) menyatakan bahwa terdapat tiga bentuk interaksi antara
ikan dan karang. Interaksi pertama yaitu adanya interaksi langsung antara
struktur karang dan sebagai tempat berlindung bagi ikan-ikan kecil. Kedua,
adanya hubungan rantai makanan atau proses makan dan dimakan seperti ikan
karang dengan biota-biota sessil termasuk alga. Ketiga, adanya peranan dari
struktur karang dan pola memakan dari pemakan plankton dan karnivor yang
berasosiasi dengan karang. Ikan merupakan organisme yang jumlahnya sangat
banyak dan juga merupakan organisme besar yang sangat menarik perhatian yang
dapat ditemui di ekosistem terumbu karang. Keberadaannya menjadikan ekosistem
terumbu karang menjadi daerah yang paling banyak dihuni oleh biota air.
Ikan-ikan karang umumnya relatif tidak berpindah-pindah (sedentary).
Pada umumya ikan-ikan terumbu karang digolongkan dalam ikan-ikan diurnal (ikan
yang aktif pada siang hari) dan nokturnal (ikan yang aktif pada malam hari)
berdasarkan waktu mencari makannya. Kebanyakan ikan-ikan terumbu bergerak
dengan jelas, tetapi pergerakan mereka terbatas pada daerah tertentu di terumbu
dan sangat terlokalisasi seperti ikan dari spesies Dischitodus prosopotaenia
(ikan betok) yang cenderung mempertahankan wilayahnya (Nybakken, 1992).
Daerah Indo-Pasifik bagian tengah di Kepulauan Filipina dan Indonesia mempunyai
spesies ikan yang jumlahnya terbesar dan jumlahnya berkurang pada semua arah
yang menjauhi pusat ini. Di perairan karang Indonesia paling sedikit ada 11
famili utama sebagai penyumbang produksi perikanan, yaitu Caesionidae,
Holocentridae, Serranidae, Scaridae, Siganidae, Lethrinidae, Priacanthidae,
Labridae, Lutjanidae, dan Haemulidae (Djamali dan Mubarak, 1998) dan
Ancanthuridae (Hutomo,1986). Salah satu penyebab tingginya keragaman spesies di
terumbu karang adalah karena variasi habitat yang terdapat di terumbu. Menurut
Sale (1991), ikan karang yang berasosiasi paling erat dengan lingkungan terumbu
karang dikelompokkan menjadi menjadi tiga golongan utama, yaitu:
1)
Labroid : Labridae (wrasses), Scaridae (parrot fish), dan
Pomacentridae (damselfish).
2)
Acanthuroid : Acanthuroidae (surgeonfishes), Siganidae (rabbitfishes),
dan Zanclidae (moorish idols) yang terdiri dari satu genus yaitu Zanclus.
3)
Chaetodontoid : Chaetodontidae (butterflyfishes) dan Pomacanthidae (angelfishes).
Ikan karang penyebarannya heterogen. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya sifat yang komplek dari substrat,
ketersediaan makanan, kualitas air, arus, gelombang, ketersediaan tempat
persembunyian, dan penutupan karang. Sale (1991) menyatakan bahwa ada beberapa
faktor lingkungan yang mempengaruhi komunitas ikan karang, salah satunya adalah
keberadaan karang hidup. Persentase karang mati yang tinggi menyebabkan penurunan jumlah
spesies ikan dan biota lainnya yang berasosiasi dengan terumbu secara
signifikan.
G.
Daerah Perlindungan Laut (DPL)
1.
Pengertian Daerah Perlindungan
Laut
Daerah Perlindungan Laut (DPL) atau Marine Sanctuary adalah suatu kawasan
laut yang terdiri atas berbagai habitat, seperti terumbu karang, lamun, dan
hutan bakau, dan lainnya baik sebagian atau seluruhnya, yang dikelola dan
dilindungi secara hukum yang bertujuan untuk melindungi keunikan, keindahan,
dan produktivitas atau rehabilitasi suatu kawasan atau kedua-duanya.
Kawasan ini dilindungi secara tetap/permanen dari berbagai kegiatan
pemanfaatan, kecuali kegiatan penelitian, pendidikan, dan wisata terbatas
(snorkle dan menyelam) (Wiryawan et
al.,2002).
2.
Fungsi Daerah Perlindungan Laut
DPL
diyakini sebagai salah satu upaya yang efektif dalam mengurangi kerusakan
ekosistem pesisir, yaitu dengan melindungi habitat penting di wilayah pesisir,
khususnya ekosistem terumbu karang. Selain itu DPL juga penting bagi
masyarakat setempat sebagai salah satu cara meningkatkan produksi perikanan
(terutama ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang), memperoleh pendapatan
tambahan melalui kegiatan penyelaman wisata bahari, dan pemberdayaan pada
masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya mereka (Coremap II 2006). Kunci
utama berfungsinya sebuah DPL adalah adanya suatu kawasan yang ditetapkan
sebagai zona inti, yaitu zona larang yang permanen. Hal ini berarti dalam zona ini aktivitas
perikanan selamanya tidak diperbolehka.
Kegiatan pengambilan hewan laut seperti kerang, teripang laut,
kerang-kerangan atau organisme hidup lainnya seperti ikan karang yang berada
dalam zona ini dilarang (Tulengen dkk, 2002).
3.
Tujuan Penetapan Daerah Perlingungan Laut
Menurut (Wiryawan et al.,2002) tujuan
penetapan daerah perlindungan laut (DPL) antara lain :
·
Meningkatkan dan mempertahankan
produksi perikanan disekitar daerah perlindungan.
·
Menjaga dan memperbaiki
keanekaragaman hayati pesisir dan laut seperti terumbuh karang, ikan, tumbuhan
serta organisme lainnya.
·
Dapat dikembangkan sebagai tempat
yang cocok untuk daerah tujuan wisata.
·
Meningkatkan
pendapatan/kesejahteraan masyarakat setempat
·
Mendidik masyarakat dalam hal
perlindungan /konservasi sehingga dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan
kewajiban masyarakat untuk mengambil peran dalam menjaga dan mengelola
sumberdaya secara lestari.
·
Sebagai lokasi penelitian dan
pendidikan keanekaragaman hayati pesisir dan laut bagi masyarakat, sekolah,
lembaga peneliti dan perguruan tinggi.
III.
METODE PENELITIAN
A.
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan selama 2 (dua) bulan pada
bulan April - Mei 2011. Lokasi dipusatkan di Daerah Perlindungan Laut (DPL) di Desa
Waha Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi. Gambar 1 DPL Desa Waha dibentuk
dalam rangka mendukung pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan Untuk mempertahankan, memperbaiki, dan meningkatkan
sumberdaya pesisir dan laut melalui program Coremap
II Wakatobi.
Gambar 1. Peta DPL Waha Kecamatan
Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi
B. Alat
Alat yang digunakan
dalam penelitian ini sebagai berikut (tabel 1) :
Tabel 1. Parameter dan Alat yang digunakan dalam Penelitian.
Parameter Satuan Alat
- Life form
karang dan ikan set Scuba set, kamera bawah
air, gambar karang,Buku
identifikasi ikan, meteran roll, sabak, alat tulis dan perahu motor.
-
Letak Posisi Stasiun - GPS(Global Positioning System)
C.
Metode Pengambilan Data.
a) Terumbu karang
Pengamatan terumbu karang pada suatu ekosistem,
dilakukan dengan menggunakan metode LIT
(line transect
method) (English et al.,
1994). Persentase pentupan
karang didiukur disetiap stasiun diamati
kedalaman 3 m dan 10 m. Hal ini berdasarkan pernyataan dari Suharsono (1994)
bahwa penutupan kedua kedalaman (3 m dan 10 m) dianggap telah mewakili secara
ekologis kondisi terumbu karang yang dijumpai pada dua kedalaman tersebut.
Pemasangan transek diletakkan sejajar dengan garis pantai dan mengikuti kontur.
Penyelam mengikuti transek dan mencatat transisi karang yang menyinggung
transek dalam sentimeter dan mencatat kode bentuk hidupnya (life form).
Gambar 7. Pengambilan Data Life Form Karang Dengan Metode Line Transek
b)
Ikan karang
Pengamatan ini menggunakan metode sensus
visual sepanjang 50 m yang dilakukan bersamaan dengan pengukuran karang. Batas pengamatan data ikan adalah 2,5 mke arah kiri dan kanan sehingga
luasan pengamatan yang didapat pada tiap stasiun adalah 250 m2. Pencatatan data
ikan karang ini adalah dengan mengidentifikasi spesies ikan yang dijumpai dan
jumlahnya.
Gambar 8.
Pengambilan data ikan karang dengan metode sensus visual (English et al.,
1994).
D. Analisis Data
a.
Persentase Penutupan Karang (Cover)
Persentase penutupan karang hidup dihitung dengan
menggunakan rumus Persentase penutupan (cover)
(English et.al, 1994) :
%
Cover =
|
Total panjang tiap kategori life form (cm)
|
x
100%
|
Panjang
Transek (cm)
|
Kriteria penilaian kondisi terumbu
karang adalah berdasarkan Persentase penutupan karang hidup dengan kategori
sebagai berikut (Gomez dan Alcala, 1984,
dalam Dahuri, dkk, 1993).
1. Kategori rusak = 0
– 25 %
2. Kategori sedang = 25
– 50 %
3. Karegori baik = 50
– 75 %
4. Kategori sangat baik = 75 –
100 %
b.
Kelimpahan ikan
Kelimpahan menurut Brower dan Zar (1977)
adalah jumlah individu persatuan luas atau volume, dengan rumus sebagai berikut
:
1.55
Keterangan :
Ni :
Kelimpahan individu ikan (ind/m2)
Σni : Jumlah
individu yang diperoleh tiap stasiun
A : Luas daerah pengamatan (m2)
Kriteria penilaian ikan karang adalah ai
berikut (Gomez dan Alcala, 1984, dalam Dahuri, dkk, 1993).
1. Sedikit = < 50 ekor sepanjang transek
2. Banyak = 50 –
100 ekor sepanjang transek
3. Melimpah = > 150 ekor sepanjang transek
(http://surajis.multiply.com/journal/item/115)